Menulis Untuk Keabadian

Karanganyar, Febriyanto - Di tengah riuh rendah zaman yang serba cepat dan informasi yang datang silih berganti laksana air bah, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan apa yang akan tersisa dari jejak kita di dunia? Di antara hiruk pikuk digital yang mudah datang dan pergi, ada satu medium purba yang daya tahannya justru teruji oleh waktu: tulisan. Mengapa manusia menulis? Lebih jauh lagi, mengapa sebagian dari mereka menulis dengan sebuah harapan, sebuah ambisi, untuk melampaui usianya sendiri—menulis untuk keabadian?

Pertanyaan ini bukanlah sekadar renungan kosong para sastrawan di menara gading. Ia menyentuh esensi dari keberadaan manusia itu sendiri: perjuangan melawan kefanaan. Adalah sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang merumuskan perjuangan ini dalam adagiumnya yang paling masyhur: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Kutipan ini, lahir dari pengalaman getir seorang penulis yang suaranya coba dibungkam oleh kekuasaan, bukan sekadar slogan. Ia adalah sebuah tesis fundamental. Pramoedya, yang sebagian besar mahakaryanya justru lahir dari balik terali besi dan pengasingan di Pulau Buru, memahami betul bahwa tulisan adalah satu-satunya alat yang ia miliki untuk memastikan gagasan dan kesaksiannya tidak ikut terkubur bersama jasadnya. Baginya, menulis bukan soal mencari popularitas sesaat, melainkan sebuah pekerjaan sadar untuk mengukir eksistensi dalam ingatan kolektif sebuah bangsa, bahkan dunia.

Keabadian yang dimaksud Pramoedya berkelindan erat dengan sejarah dan masyarakat. Sebuah tulisan menjadi abadi ketika ia berhasil merekam semangat zaman, pergulatan batin sebuah generasi, atau ketidakadilan yang coba ditutup-tutupi. Tetralogi Buru, misalnya, lebih dari sekadar novel. Ia adalah sebuah upaya raksasa untuk merekonstruksi jejak langkah sebuah bangsa yang sedang mencari identitasnya di fajar abad ke-20. Melalui tokoh Minke, Pramoedya tidak hanya bercerita, tetapi juga menggugat, mencerahkan, dan memaksa kita untuk menengok kembali akar sejarah kita. Inilah fungsi pertama tulisan dalam meraih keabadiannya: sebagai prasasti sejarah dan sosial. Ia menjadi saksi yang tak bisa disuap, yang akan terus berbicara lama setelah para pelakunya bungkam.

Melampaui Catatan Sejarah: Keabadian dalam Ranah Personal dan Puitis

Namun, keabadian dalam tulisan tidak melulu soal catatan besar sejarah dan politik. Ada dimensi lain yang lebih personal, lebih puitis, dan tak kalah kuatnya. Di sinilah kita bertemu dengan maestro lirik Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Jika Pramoedya melihat keabadian dalam bentangan sejarah kolektif, Sapardi menemukannya dalam keintiman momen dan perasaan yang universal.

Melalui sajak-sajaknya yang sederhana namun menusuk kalbu, Sapardi menunjukkan bahwa tulisan mampu mengabadikan perasaan yang paling halus sekalipun. Siapa yang tidak kenal larik magisnya, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi". Dalam puisinya yang lain, "Pada Suatu Hari Nanti", ia seolah menulis wasiat puitisnya sendiri:

Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri.

Di sini, keabadian dimaknai sebagai kemampuan tulisan untuk menjembatani ketiadaan fisik. Jasad boleh hancur lebur ditelan waktu, suara boleh lenyap ditelan angin, tetapi kata-kata yang telah tertuang di atas kertas memiliki daya hidupnya sendiri. Ia mampu melintasi ruang dan waktu, untuk kemudian hinggap di benak pembaca dari generasi yang berbeda, dan membangkitkan kembali emosi dan pengalaman yang sama. Hujan di bulan Juni akan tetap terasa puitis dan ganjil, rasa cinta yang sederhana akan tetap menemukan resonansinya, berkat kata-kata yang dirangkai Sapardi.

Ini adalah bentuk keabadian yang lebih subtil. Tulisan menjadi sebuah medium di mana jiwa seorang penulis—keresahan, kegembiraan, kesedihan, dan cintanya—dapat terus berkomunikasi dengan pembaca. Ia adalah sebuah perbincangan tanpa akhir antara penulis yang telah tiada dengan pembaca yang belum tentu pernah ia temui. Dengan demikian, menulis adalah sebuah upaya untuk meninggalkan warisan emosional dan intelektual, sebuah cara untuk mengatakan, "Aku pernah di sini, aku pernah merasa, dan apa yang kurasakan ini juga bagian dari dirimu."

Intelektualitas sebagai Jembatan Keabadian

Di spektrum lain, kita menemukan Goenawan Mohamad, seorang esais yang menunjukkan bahwa keabadian tulisan juga terletak pada kemampuannya untuk memantik pemikiran dan dialog yang tak berkesudahan. Melalui "Catatan Pinggir"-nya yang legendaris, Goenawan tidak berpretensi memberikan jawaban final. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk berpikir, merenung, dan mempertanyakan kembali berbagai hal—mulai dari filsafat, seni, politik, hingga peristiwa sehari-hari.

Gaya tulisannya yang jernih, analitis, dan sarat dengan referensi lintas disiplin menunjukkan bahwa menulis untuk keabadian juga berarti ikut serta dalam sebuah percakapan intelektual yang telah berlangsung selama berabad-abad. Seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik. Ia menyerap gagasan dari para pemikir sebelumnya, meramunya dengan pengamatan dan refleksinya sendiri, lalu melemparkannya kembali ke ruang publik untuk didiskusikan oleh generasi berikutnya.

Dalam konteks ini, keabadian sebuah tulisan diukur dari relevansinya. Sebuah esai atau artikel menjadi abadi bukan karena ia tak lekang oleh waktu, tetapi justru karena ia mampu terus-menerus berbicara pada setiap zaman dengan cara yang baru. Tulisan Goenawan tentang kekuasaan, kebebasan, atau identitas, misalnya, tetap relevan dibaca hari ini, meski konteks spesifiknya mungkin telah berubah. Hal ini karena ia tidak hanya mengomentari permukaan peristiwa, melainkan menyentuh akar persoalan yang bersifat universal dan filosofis.

Dengan demikian, menulis menjadi sebuah kerja intelektual untuk membangun jembatan antar-generasi. Ia adalah upaya untuk memastikan bahwa api pemikiran kritis tidak pernah padam. Setiap tulisan yang bermutu adalah sebuah batu bata yang ikut membangun peradaban ide, sebuah warisan yang tidak ternilai harganya.

Amanat, Warisan, dan Tanggung Jawab

Dari penelusuran di atas, teranglah bahwa menulis untuk keabadian bukanlah sebuah tindakan narsistik. Ia justru merupakan sebuah tindakan yang sarat dengan tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab historis seperti yang diusung Pramoedya, tanggung jawab puitis untuk menjaga nyala perasaan manusia seperti yang dicontohkan Sapardi, maupun tanggung jawab intelektual untuk terus menghidupkan dialog seperti yang diteladani Goenawan Mohamad.

Dalam budaya yang semakin didominasi oleh konten sesaat—cuitan yang tenggelam dalam hitungan menit, atau video pendek yang viral hari ini dan terlupakan esok lusa—gagasan "menulis untuk keabadian" terasa semakin mendesak untuk direnungkan kembali. Ia mengingatkan kita bahwa ada nilai yang lebih tinggi dari sekadar jumlah "suka" atau "pengikut". Ada nilai dalam kedalaman, dalam kejernihan pemikiran, dan dalam keindahan bahasa yang dirangkai dengan saksama.

Menulis untuk keabadian pada hakikatnya adalah sebuah investasi jangka panjang bagi peradaban. Ia adalah sebuah penolakan untuk menyerah pada kefanaan. Ketika seorang penulis menggoreskan penanya di atas kertas atau mengetikkan aksara di layar komputernya dengan niat untuk melampaui zamannya, ia sedang melakukan lebih dari sekadar merangkai kata. Ia sedang menanam sebuah pohon gagasan, yang buahnya mungkin baru akan dipetik oleh generasi yang akan datang.

Pada akhirnya, menulis adalah sebuah amanat. Sebagaimana nama harian ini, "Kompas", yang oleh Bung Karno diharapkan menjadi penunjuk arah, tulisan yang diniatkan untuk abadi adalah kompas yang dititipkan seorang penulis kepada masa depan. Ia adalah peta yang merekam jejak perjalanan masa lalu, sekaligus mercusuar yang menawarkan cahaya penuntun bagi perjalanan yang masih akan ditempuh. Ia adalah bukti paling sahih bahwa meski manusia itu fana, gagasannya, perasaannya, dan kesaksiannya dapat hidup selamanya. Dan dalam kerja keabadian itulah, seorang penulis menemukan makna terdalam dari panggilannya.

Komentar